Iklim investasi yang belum pulih, dengan salah satu indikatornya aliran penanaman modal asing yang masih seret, telah menggiring sektor perbankan untuk memusatkan kegiatan bisnisnya pada sektor diluar segmen korporasi. Sektor paling populer yang sampai saat ini menjadi rebutan para bankir adalah pemberian kredit konsumtif untuk debitor perseorangan dan pemberian kredit modal kerja untuk debitor perusahaan skala kecil hingga menengah. Dari 137 bank umum yang masih beroperasi di Indonesia pada saat ini, sebagian besar berfokus pada pemberian kredit kepada usaha kecil hingga menengah.

Sesuai kesepakatan bersama antara Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) dan Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah No. 11/KEP/MENKO/KESRA/IV/2002 – No. 4/2/KEP.GBI/2002 tanggal 22 April 2002 dijelaskan bahwa kredit kepada usaha kecil adalah kredit dengan jumlah hingga Rp500 juta. Adapun kredit kepada usaha menengah memiliki plafon hingga Rp5 miliar. Kredit usaha mikro adalah kredit untuk usaha mikro dengan plafon sampai Rp50 juta.

Dari aspek pemberian kredit maupun menghimpun dana masyarakat tampak bahwa BRI Unit merupakan lembaga keuangan mikro paling dominan, disusul BPR dan Pegadaian.

Sementara itu, bank umum yang “berani” melayani pemberian kredit kepada usaha mikro sampai saat ini masih dapat dihitung dengan jari. Bagaimana sebenarnya kendala dan peluang pembiayaan usaha mikro dan kiat apa yang harus dimiliki oleh bank jika ingin sukses masuk dalam pembiayaan usaha mikro?

Kendala dan Peluang

Selain kontribusi per unit usaha terhadap pembentukan produksi domestik bruto (PDB) yang relatif rendah, usaha mikro juga masih memiliki beberapa kelemahan, yaitu dalam hal manajemen yang masih tradisional, kualitas sumber daya manusia yang belum memadai, skala dan teknik produksi yang rendah, pasar yang kecil dan kemampuan pemasaran yang terbatas, akses informasi yang rendah, sistem teknologi informasi masih sederhana, dan kesulitan akses permodalan.

Bagi lembaga pembiayaan, khususnya perbankan, di dalam memfokuskan bisnis pada usaha mikro, seyogianya tidak hanya melihat kendalanya saja. Beberapa keunggulan usaha mikro yang sudah teruji sampai saat ini adalah resistansi usaha mikro terhadap gejolak krisis ekonomi dan pengusaha usaha mikro biasanya merupakan debitor yang patuh membayar kewajiban kreditnya.

Di samping itu, sampai saat ini usaha mikro merupakan salah satu penyedia lapangan kerja cukup besar di Indonesia. Terlepas apakah usaha mikro sudah menjadi nasabah bank (effective demand/bankable) ataukah belum sebenarnya usaha mikro memiliki potensi sebagai sasaran penyaluran kredit.

Dengan memperhatikan populasi usaha mikro, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2000 (BPS, Profil UKM Tidak Berbadan Hukum, Tahun 2000, Jakarta) di Indonesia terdapat sekitar 39 juta badan usaha yang terdiri atas 2.005 usaha besar, 55.437 usaha menengah, dan 39.121.350 usaha kecil (90 persen adalah usaha mikro).

Di antara 39 juta badan usaha tersebut, sekitar 15 juta merupakan badan usaha yang tidak berbadan hukum (usaha perorangan) yang merupakan segmen usaha mikro. Dari 15 juta badan usaha yang tidak berbadan hukum tersebut, yang belum memanfaatkan dana pinjaman bank sebesar 12,7 juta (85 persen), sedangkan yang telah memanfaatkan pinjaman bank sebesar 2,3 juta (15 persen).

Apabila 12 juta usaha mikro yang belum memperoleh fasilitas kredit bank tersebut dapat diberikan kredit mikro (Rp50 juta per pengusaha), maka potensi kredit yang dapat diberikan oleh lembaga pembiayaan sekitar Rp600 triliun. Potensi kredit kepada usaha mikro ini jauh lebih besar daripada total kredit yang telah disalurkan oleh perbankan nasional yang hanya mencapai Rp428 triliun hingga akhir Mei 2003.

Pola Pembiayaan

Sampai saat ini, lembaga keuangan yang terlibat di dalam pembiayaan usaha mikro cukup beragam. Lembaga pembiayaan tersebut dapat berupa bank umum atau Bank Perkreditan Rakyat (BPR), modal ventura, program Pengembangan Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK), pegadaian dan sebagainya.

Dari aspek pemberian kredit maupun menghimpun dana masyarakat tampak bahwa BRI Unit merupakan lembaga keuangan mikro paling dominan, disusul BPR dan Pegadaian.

Mengenai pola pembiayaan yang dapat disalurkan kepada usaha mikro, secara garis besar dapat dibagi menurut beberapa kriteria. Pertama, pembiayaan yang bersifat administratif, misalnya, untuk pendidikan, teknik produksi, pemasaran, akses informasi dan sebagainya. Kedua, pola kerja sama pembiayaan usaha mikro, misalnya, sistem bagi hasil oleh perusahaan modal ventura, teman, saudara, partner bisnis, PNM, bank syariah dan sebagainya.

Ketiga, pola program PUKK, yaitu program Menteri Negara BUMN yang mewajibkan BUMN menyisihkan lima persen labanya guna membantu usaha kecil dan koperasi. Keempat, kredit usaha mikro dari lembaga keuangan non-bank seperti pegadaian, perusahaan leasing dan sebagainya.

Kelima, kredit perbankan yang dapat berupa kredit modal kerja, kredit investasi, kredit konsumtif. Keenam, bantuan pembiayaan dari luar negeri dari lembaga keuangan, perusahaan, atau negara donor.

Sumber: Keuangan LSM