Bertahun-tahun biji kakao Aceh dijual ke luar. Kakao itu lalu kembali ke Aceh dalam bentuk cokelat bar dengan harga lebih mahal. Namun, kini sebagian biji kakao sudah bisa diolah di Aceh. Biji kakao diolah menjadi beragam produk, seperti cokelat bar, tepung cokelat, dodol cokelat, dan bubuk cokelat.

Sejak 2010, Aceh telah memiliki industri pengolahan biji kakao. Industri itu milik Irwan Ibrahim (45), petani kakao Meurah Dua, Pidie Jaya. Lewat usaha itu, Irwan ingin mengangkat martabat kakao Aceh sekaligus mencerahkan kehidupan petani kakao.

Irwan lahir dan tumbuh dari keluarga petani kakao. Sejak belia, dia sudah terbiasa bergelut di kebun kakao yang menjadi urat nadi ekonomi keluarga Irwan. “Hampir semua warga Pidie Jaya memiliki kebun kakao. Boleh dibilang, “Kakao adalah sumber pendapatan utama warga di sini,” kata Irwan di rumahnya, Sabtu (2/7).

Namun, lrwan prihatin terhadap ke hidupan petani kakao yang tak pemah membaik. Harga jual biji kakao kering tidak stabil. Terkadang melonjak, tetapi keesokan harinya anjlok. Akibatnya, petani menjadi malas merawat kebun. Banyak pohon kakao diserang hama dan dibiarkan mati. “Harga ditentukan agen luar, petani tidak bisa berbuat apa-apa,” ujar Irwan.

Mengolah kakao

Irwan gelisah dengan kondisi itu. Pria yang hanya lulus sekolah menengah atas ini berpikir, seandainya ada industri pengolahan kakao menjadi beragam produk, kakao akan memperoleh nilai tambah. Kakao milik petani Pidie Jaya tidak perlu dijual dengan harga murah sebab industri pengolahan pasti bisa menampung kakao petani lokal.

Ide mengolah kakao menjadi beragam produk disampaikan kepada teman-teman sesama petani. “Mereka bilang mustahil industri pengolahan kakao bisa dibuat di sini. Bahkan, ada yang menertawakan saya,” ujar Irwan.

Irwan tidak patah semangat. Dia mencari informasi tentang cara mengolah kakao. Irwan belajar ke pabrik pengolahan kakao di Surabaya, Jawa Timur. Beberapa kali dia mencoba, hasilnya tidak sempurna. Butuh waktu lima tahun mimpi itu baru terwujud.

Kini, industri pengolahan biji kakao milik Irwan sudah berjalan. Usaha tersebut diberi nama “Socolatte“. Biji kakao diolah menjadi cokelat bar, tepung, dodol cokelat, dan bubuk cokelat. Cokelat bar buatan Irwan memiliki beragam rasa, seperti rasa kacang mede, jahe, dan kopi. Rasanya tidak kalah dengan cokelat pabrikan yang dijual di swalayan.

Penjualan pw1 semakin meningkat. Sebulan, pendapatan Irwan antara Rp 3 juta dan Rp 4juta. Irwan membuka kedai di tepi jalan Medan-Banda Aceh, tepatnya di Desa Baroh Musa, Meurah Dua, Pidie Jaya Di kedai itu, pelanggan bisa menikmati cokelat bar hingga es krim cokelat.

Saat musim mudik Lebaran, penjualan berlipat tidak sedikit para pemudik yang singgah di kedai Irwan untuk membeli cokelat sebagai oleh-oleh untuk keluarga. Sesekali Irwan mengikuti pameran di luar Aceh untuk mempromosikan Socolatte. “Dulu, saat ikut pameran, barangnya harus dibawa pulang. Kalau sekarang saya bawa empat koper besar, pameran belum selesai, cokelatnya sudah habis,” kata Irwan.

Berdayakan petani

Lewat usaha pengolahan kakao, lrwan ikut memberdayakan warga sekitar dan petani kakao Pidie Jaya. Socolatte telah manipu mempekerjakan 25 karyawan. Karyawan Socolatte merupakan warga sekitar.

Bagi Irwan, Socolatte bukan sekadar tempat dia mencari uang, tetapi juga manjadi tempat bagi banyak orang belajar tentang kakao. Irwan kerap menjadi pembicara pada pelatihan yang diikuti petani kakao. Socolatte juga sering di kunju ngi mahasiswa pertanian untuk belajar tentang produk kakao.

Produk Socolatte sepenuhnya menggunakan bahan baku lokal. Irwan membeli kakao dari petani dengan harga Rp 5.000 lebih mahal. Dari harga pasar yang sekitar Rp 36.000 per kilogram. Setiap bulan, sekitar 30 ton kakao petani dia tampung.

“Kapasitas produksi dalam sebulan masih 30 ton. Saya belum mampu menampung semua hasil kakao petani di Pidie Jaya,” kata Irwan. Irwan berharap Socolatte terus berkembang agar kapasitas produksi bertamb.

Adapun produksi kakao di Pidie Jaya dalam sebulan mencapai 362 ton. Pidie Jaya termasuk sentra penghasil kakao di Provinsi Aceh. Luas lahan kakao di Pidie Jaya mencapai 13.500 hektar dengan produksi setahun mencapai 4.350 ton. Sementara luas kebun kakao di Aceh mencapai 102.034 hektar dengan produksi sekitar 35.000 ton.

Menurut Irwan, potensi tersebut seharusnya menjadi modal utama bagi pengusaha di Aceh untuk membangun industri pengolahan kakao. Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir kedai cokelat bermunculan, terutama di Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh.

“Kalau dulu orang Aceh hanya terbiasanya minun1 kopi. Namun, sekarang banyak generasi muda yang suka minum cokelat. Peluang ini tidak boleh disia-siakan,” ujar Irwan.

Irwan punya mimpi besar, suatu saat Aceh memiliki pabrik pengolahan kakao kapasitas besar sehingga komoditas kakao Aceh tidak perlu dijual ke luar dengan harga murah. Kakao Aceh terlebih dulu diolah menjad beragam produk. Dengan begitu, lapangan kerja tersedia dan petani kakao di Aceh kian sejahtera.

Sumber: kompas.com.