Oleh David Ardhian

Granovetter (1985) menaruh perhatian pada analisis keterlekatan sosial (embeddedness) dalam perilaku ekonomi. Pemikir ekonomi klasik dan neo-klasik mengasumsikan bahwa rasionalitas adalah faktor determinan dalam mempengaruhi tindakan ekonomi, dimana self-interest sangat kecil dipengaruhi oleh relasi sosial. Pada ekstrem yang lain para teoritisi menyatakan bahwa perilaku dan institusi ekonomi dibatasi oleh relasi sosial sebagai faktor determinan. Hal yang menjadi perhatian Granovetter adalah bagaimana meletakkan keterlekatan sosial dalam konteks memahami tindakan ekonomi sebagai jembatan atas dua kutub pemikiran tersebut.

Banyak teoritisi yang menyatakan bahwa keterlekatan sosial dalam perilaku aktor ekonomi sangat kuat terjadi pada masyarakat pra-industri, dan semakin melemah pada masyarakat industri karena pengaruh modernisasi. Pandangan ini mengasumsikan bahwa pada masyarakat modern transaksi ekonomi adalah berdasarkan kalkulasi rasional dari aktor ekonomi, tidak lagi dipengaruhi oleh ikatan sosial dan kekerabatan. Pandangan sebaliknya menyatakan bahwa karena kehidupan ekonomi merupakan bagian dari kehidupan sosial maka keterlekatan sosial tidak hanya terjadi pada masyarakat modern, dimana tindakan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial.

Hal tersebut membawa Granovetter untuk menjelaskan polarisasi dari dua kutub pemikiran yang disebutnya sebagai over-socialized dan under-socialized. Pada kutub pertama, over-socialized menyatakan bahwa perilaku ekonomi sangat kuat dipengaruhi oleh sosialisasi. Argumennya adalah bahwa manusia memiliki sensitifitas tinggi terhadap pendapat orang lain. Hal ini disebabkan manusia patuh terhadap sistem nilai dan norma yang berkembang sebagai konsensus yang diinternalisasi melalui sosialisasi. Pada kutub kedua, under- socialized, menyatakan bahwa perilaku ekonomi adalah unit yang independen dari faktor sosialisasi atau diistilahkan sebagai atomisasi. Aktor ekonomi bertindak berdasarkan kepatuhan atas pilihan rasional, yang terbebas dari hubungan dan struktur sosial. Bahkan faktor sosial seperti relasi sosial dianggap sebagai penghambat dan memberikan distorsi terhadap pasar yang “ideal” atau pasar persaingan sempurna.

Granovetter menolak pandangan atomisasi aktor dalam pandangan pemikiran under-socialized yang memandang otonomi individu dalam tindakan ekonomi, seolah-olah tindakan aktor ekonomi terlepas dari konteks sosial, kultural dan politik. Konsep ini berakar dari para ekonom neo-klasik yang membatasi faktor pengaruh sosial dalam sistem ekonomi, yang dianggap sebagai distorsi dalam pasar persaingan sempurna. Namun Granovetter juga tidak sepakat dengan pemikiran over-socialized dimana menempatkan individu terlampau kuat dipengaruhi oleh ruang determinasi sosio-kultural. Hal ini memandang bahwa segala tindakan dan keputusan ekonomi diatur dan digerakkan oleh pengaruh sistem nilai dan norma yang sedang berjalan. Konsep ini banyak diusung oleh kelompok ekonom reformis dan penganut pandangan Parson, bahwa tindakan individu dibentuk oleh sistem nilai dan norma dalam kerangka struktur sosial dimana dia berada.

Pokok pandangan Granovetter adalah penolakannya terhadap kedua kutub pemikiran tersebut, baik over-socialized maupun under-socialized. Granovetter melihat bahwa kedua pandangan eksterm tersebut melektakkan faktor keterlekatan sosial berada diluar tindakan ekonomi sehari-hari, dan mengeliminasi relasi sosial. Granovetter mengajukan pandangan bahwa tindakan aktor ekonomi melekat pada relasi sosial kongkret yang sedang berlangsung. Pandangan Granovetter sejalan dengan Mark Weber, dimana tindakan ekonomi bukan merupakan sebuah stimulus respon yang sederhana, tapi berlangsung pada proses relasi sosial. Menurut Weber, tindakan ekonomi bisa dipandang sebagai tindakan sosial, sejauh tindakan tersebut memperhatikan perilaku orang lain.

Granovetter memandang bahwa keterlekatan sosial berlangsung pada realitas relasi sosial antar aktor ekonomi. Keterlekatan sosial terkandung dalam relasi inter-personal aktor ekonomi dan jaringan sosial. Dengan demikian keterlekatan sosial diekspresikan dalam interaksi aktor dengan orang lain. Hal ini terjadi karena proses ekonomi terstruktur dalam hubungan non-pasar seperti keluarga, kekerabatan, komunitas atau birokrasi. Berangkat dari hal ini Granovetter kemudian menjelaskan faktor trust atau dis-trust dalam interaksi antar pelaku ekonomi. Namun hal ini tidak menghilangkan faktor pilihan rasional dalam tindakan ekonomi. Ketika relasi sosial belum terbangun secara lekat dalam interaksi aktor ekonomi maka kalkulasi rasional bisa menjadi basis pertimbangan dalam tindakan ekonomi.

Pandangan Granovetter tersebut menempatkan keterlekatan sosial dalam konteks relasi sosial yang kongkret dan sedang berjalan. Lebih dari itu Granovetter mengajak untuk menjembatani sekaligus membumikan perdebatan panjang pemikiran kontras antara economic first versus social first dalam wacana sosiologi ekonomi. Hal ini menjadikan konsep keterlekatan sosial bukanlah sebuah konsep yang berada diluar realitas sehari hari dalam konteks perilaku ekonomi.

Sebagai contoh dalam kehidupan sehari hari adalah interaksi antara pembeli dan pedagang sayuran di pasar tradisional. Pada tahap awal ketika pembeli sayur belum mengenal secara intens dengan penjual, transaksi atas harga berlangsung berdasarkan kalkulasi rasional menurut self-interest masing masing. Transaksi atas harga berlangsung alot. Ketika interaksi sosial semakin intensif, saling mengenal satu sama lain, ada kesamaan nilai dan pandangan dalam perbincangan mereka maka pertimbangan pilihan rasional menjadi memudar dan lebih menguat trust diantara keduanya. Transaksi atas harga bukan menjadi sebuah hal utama lagi, namun saling kepercayaan menjadi basis dari transaksi.

Pandangan Granovetter juga sangat penting untuk menjelaskan relasi antara petani dan tengkulak pada rantai pasar produk pertanian di perdesaan. Pola relasi tengkulak dan petani tidak hanya berdasar pada faktor ekonomi dan rasionalitas atas harga yang menguntungkan, namun juga relasi non-ekonomi, seperti kekerabatan, kedekatan tempat tinggal, kesamaan sistem nilai dan pandangan, bahkan hubungan patron-klien yang kental.

Selanjutnya lebih jauh Granovetter menjelaskan mengenai kelekatan sosial dalam menggambarkan relasi antar aktor dalam pasar dan hirarki. Granovetter menjelaskan pandangannya dengan mengkritik pandangan Williamson yang menyatakan bahwa perkembangan bisnis dipengaruhi oleh hirarki dalam organisasi perusahaan. Eksekutif perusahaan bertemu dan mengadakan hubungan sosial dalam relasi hirarkis sehingga tercipta perkembangan usaha ekonomi. Granovetter menolak pandangan tersebut dan menyatakan bahwa relasi sosial antar perusahaan di semua level lebih penting dibanding dengan mekanisme otoritas dalam perusahaan. Granovetter menegaskan trust dan solidaritas merupakan faktor penting yang menentukan perkembangan bisnis, dengan kata lain jaringan sosial menjadi pertimbangan penting.

Dalam berbagai kasus yang kita amati akhir-akhir ini seperti kasus impor daging sapi, memperkuat pandangan Granovetter bahwa kelekatan sosial yang terwujud dalam tindakan ekonomi termanifestasi pada jaringan sosial, yang merupakan faktor dominan dalam menentukan perilaku ekonomi. Perusahaan importir sebagai entitas bisnis, hanyalah sebagai sarana dalam tindakan ekonomi namun tindakan ekonomi itu sendiri dipengaruhi oleh kelekatan sosial dalam jejaring sosial aktor yang menggunakan kesamaan afiliasi politik untuk memperoleh keuntungan dari impor daging sapi.

Hal ini menggambarkan bahwa pada tingkat awal perusahaan berperilaku dipengaruhi oleh pilihan rasional sesuai dengan prinsip ekonomi, namun ketika tata kelola ekonomi yang buruk atau bad governance terjadi maka fungsi fungsi jaringan politik menjadi faktor penentu dalam keputusan ekonomi. Hal ini tidak berlangsung secara tiba-tiba namun dimulai dengan membangun relasi sosial, sampai dengan kasus penyuapan dan korupsi yang dibangun atas dasar jejaring sosial terafiliasi pada kepentingan kelompok tertentu. Dengan demikian kelekatan sosial merupakan sebuah konsep yang berlangsung dalam realitas ekonomi seiring dengan berlangsungnya tindakan dari para pelaku ekonomi.