Bagi saya, brand is everything.

Keliru sekali kalau Anda menganggap merek hanya sebagai sebuah nama. Keliru sekali kalau Anda menganggap merek hanya sebagai sebuah logo atau simbol. Merek bagi saya adalah indikator value yang Anda tawarkan kepada pelanggan. Merek merupakan aset yang menciptakan value bagi pelanggan dengan memperkuat kepuasaan dan loyalitas. Merek menjadi “alat ukur” bagi kualitas value yang Anda tawarkan.

Lihatlah toko buku Amazon.com!

Amazon adalah sebuah merek kuat. Indikator value apa yang dicerminkan oleh merek Amazon? Tak lain, sekumpulan unique value yang ditawarkannya online book shopping experiences, koleksi buku paling lengkap sejagat, kenyamanan dan kemudahan mencari buku, pemberian rekomendasi secara personalized terhadap buku-buku yang akan dibeli pelanggan, diskon harga yang kompetitif, dan sebagainya. Merek dan logo Amazon adalah cerminan sekumpulan value yang ia tawarkan.

Dengan merek, perusahaan atau produk mampu lepas dari perangkap komoditasasi. Merek memungkinkan produk dan layanan Anda terbebas dari aturan dasar kurva permintaan-penawaran. Anda yang belajar ilmu ekonomi dasar pasti tahu bahwa harga di pasar akan turun seiring naiknya harga penawaran. Sebaliknya, harga akan naik seiring dengan naiknya permintaan. Jadi, harga terbentuk dari adanya keseimbangan antara penawaran dan permintaan.

Dengan memiliki ekuitas merek yang kuat, Anda bisa membebaskan diri dari hukum dasar ekonomi tersebut Anda bisa mematok harga mengikuti kemampuan value (tepatnya, customer perceived value) yang Anda tawarkan ke pelanggan. Harga yang Anda patok tidak lagi bergantung pada titik keseimbangan harga dalam kurva permintaan-penawaran. Akibatnya, Anda mampu menjadi “price maker”, bukan “price taker”.

Lihatlah Levi’s!

Levi’s di antara para pesaing terdekatnya mematok harga yang premium. Kenapa? Ya karena memang Levi’s adalah the original dan pionirnya celana jeans. Karena sudah membuat celana jeans selama 150 tahun dan selama waktu itu kinerjanya tak pernah cela, wajar kalau ekuitas merek Levi’s menjadi demikian kukuh dan bahkan karismatik. Karena ekuitas mereknya sudah demikian kukuh, Levi’s sudah sangat pede (percaya diri) untuk menetapkan harga premium. Kalau Anda sering ke mall pas hari-hari besar seperti Natal atau Lebaran, di tengah begitu banyak merek celana jins lain yang getol memberikan diskon, Levi’s justru pede untuk tetap konsisten pada harga baku, tanpa diskon sepersen pun. Dan apakah Levi’s lebih tidak laku karena tidak memberi diskon? Nggak juga! Levi’s menjadi price maker, bukan price taker.

Merek adalah resultan dari semua langkah yang Anda jalankan terhadap produk. Ketika kita menentukan STP (segmentasi-targeting-positioning) dan diferensiasi, serta mendukungnya dengan marketing mix (strategi produk-harga-distribusi-promosi) dan strategi selling yang solid, sebenarnya kita sedang membangun dan mengembangkan sebuah merek.

Jadi, keliru sekali kalau Anda menganggap bahwa merek dibangun hanya dengan memasang iklan-iklan di Koran atau televisi. Juga keliru kalau Anda menganggap bahwa merek dibangun hanya dengan melakukan kegiatan public relation dan corporate citizenship.

Merek terbangun dari semua langkah yang Anda lakukan terhadap produk dan perusahaan Anda, baik langkah itu baik (memperkuat ekuitas merek) maupun buruk (menggerogoti ekuitas merek).

Ambil contoh Kijang!

Memang benar iklan Kijang di televisi dan di Koran sangat menyentuh dengan selalu menggambarkan kemesraan dan kebersamaan sebuah keluarga dengan papa-mama, nenek-kakek, dan tentu lengkap dengan anak-anak yang sehat dan ceria. Tapi, bukan hanya iklan itu saja yang menyebabkan merek Kijang demikian kuat. Merek Kijang yang kukuh juga ditentukan oleh kekuatan produk mobil yang multi-purpose: bisa digunakan untuk Papa ke kantor, untuk Mama ke supermarket, untuk mengantar anak-anak sekolah, juga untuk berlibur seluruh anggota keluarga ke puncak. Juga dari dukungan 3S (sales, service, spare part) yang memaanfaatkan dukungan jaringan distribusi Toyota.

Kalau di depan saya mengatakan bahwa merek adalah indikator value, lalu apa sesungguhnya value itu? Saya secara sederhana mendefinisikan value sebagai total get atau semua manfaat yang didapat oleh pelanggan dibagi dengan total give atau semua pengorbanan yang diberikan oleh pelanggan. Total get mencakup dua komponen, yaitu functional benefit dan emotional benefit, sementara total give mencakup price atau harga yang dibayarkan pelanggan dan other expenses atau biaya lain yang muncul selama si pelanggan menggunakan produk.

Manfaat fungsional biasanya berkaitan langsung dengan fungsi-fungsi yang dilakukan oleh sebuah produk. Untuk sebuah mobil misalnya, manfaat fungsionalnya mungkin adalah kecepatan, ketahan-lamaan, keamanan, atau kenyamanan berkendara. Untuk sebuah produk makanan, manfaat fungsional ini bisa berupa enaknya, mengenyangkan, nilai gizi yang tinggi, atau kesegarannya.

Sementara itu, manfaat emosional adalah manfaat yang diperoleh pelanggan berupa stimulasi terhadap emosi dan perasaannya. Bentuknya bisa bermacam-macam. Bisa perasaan energetik setelah minum Coca-Cola. Atau perasaan aman pada saat mengendarai Volvo. Atau tenggelam dalam sukacita saat bergoyang di Hard Rock Café.

Price merupakan biaya yang dibayarkan oleh pelanggan saat ia menerima produk Anda, sementara other expenses merupakan biaya yang dibayarkan pelanggan selama menggunakan dan mengonsumsi produk Anda.

Dari formula tersebut, menjadi jelas bahwa kekuatan suatu merek akan ditentukan oleh keempat komponen value tersebut. Merek yang kuat di satu sisi akan ditandai oleh manfaat fungsional dan emosional yang tinggi, dan Artinya, ia menghasilkan rasio total get dan total give sebesar mungkin.

Ambil contoh toserba Ramayana!

Banyak merek yang menggunakan resep value-for-money untuk produknya dengan memaksimalkan total get dan total give kepada pelanggan, salah satunya adalah Ramayana. Value yang ditawarkan oleh Ramayana disesuaikan dengan target marketnya, yaitu masyarakat menengah-bawah. Untuk meningkatkan total get, ia menawarkan produk-produk terutama pakaian dengan kualitas yang tetap bagus. Jadi, lebih menonjolkan manfaat fungsional ketimbang emosional. Sementara itu, daro total give ia menjaga harga agar tetap murah dengan jor-joran memberikan diskon dan memperbanyak sale, terutama pada hari-hari besar.

Kenapa Anda harus repot-repot membangun merek?

Jawabannya sederhana karena ekuitas merek yang kuat membawa seribu manfaat dan keuntungan. Yang paling jelas terlihat adalah harga premium alias di atas rata-rata pesaing Anda, seperti contoh Levi’s di depan. Karena premium, bisa dipastikan margin keuntungan yang Anda peroleh pun akan tinggi.

Apabila Anda sudah memiliki ekuitas merek yang kuat, sayang sekali kalau Anda tidak me-leverage dengan melakukan perluasan merek (line extension, brand extension, down-scaling, up-scaling, other branding). Anda bisa masuk ke pasar-pasar dan ceruk-ceruk baru untuk meningkatkan penghasilan Anda. Umumnya, merek kuat melakukan ini. Sunsilk, misalnya, melakukan line extension dengan membuat varian produk baru berdasarkan fungsi perawatan rambut. Extra Joss memasuki pasar anak-anak dengan meluncurkan Extra Joss Kids. Indofood memproduksi beraneka ragam produk makanan mulai dari kecap, sambal hingga mie instan dengan menggunakan mother brand Indofood.

Dalam hal me-leverage merek, kasus Lexus sangat menarik untuk dilihat.

Tak ada yang meragukan bahwa Toyota tidak hanya bisa membuat mobil berkualitas tinggi, tapi juga memiliki proses produksi yang sangat efisien. Tapi, kesemuanya seperti tidak berarti di mata para penggemar mobil-mobil mewah (luxury car). Toyota Crown yang merupakan mobil kelas atas Toyota ternyata tetap kalah pamor dibandingkan Mercedes Benz atau BMW, yang dikenal luas sebagai the real luxury car.

Namun, masalah tersebut tidak lantas membuat Toyota pasrah begitu saja. Apalagi mereka sesungguhnya memang punya kemampuan menghasilkan mobil mewah berkualitas tinggi. Jadi, terlalu sayang kalau Toyota tidak masuk ke segmen pasar mobil mewah yang prospeknya sangat menjanjikan. Lagi pula, masalah persepsi pelanggan bahwa Toyota tidak identik dengan mobil mewah bukanlah merupakan masalah yang tidak bisa diatasi.

Pemakaian nama merek yang tidak terkait dengan Toyota bisa menjadi jalan keluar. Dan taktik inilah rupanya yang kemudian dipilih Toyota. Tak hanya itu, Toyota bahkan berkomitmen untuk membuat perusahaan tersendiri dan jaringan distribusi baru untuk mobil mewah yang terpisah dan tidak memakai nama Toyota. Ketika sampai pada pemilihan nama, Toyota juga mengambil nama yang tidak berasal dari mana-mana, tapi punya kesan berkualitas tinggi dan futuristik: Lexus.

Hasilnya, kita semua tahu. Lexus keluar sebagai merek mobil mewah baru yang fresh dan perlahan tapi pasti mulai digandrungi oleh para pencinta mobil. Di berbagai negara, kini Lexus berkejar-kejaran dengan si pemimpin pasar lama, Mercedes Benz dan BMW, untuk berebut pelanggan.

Merek yang kuat juga bisa menjadi perekat Anda dengan pelanggan. Merek yang memiliki identitas yang kuat biasanya memiliki hubungan emosional bahkan spiritual dengan para pelanggannya. Singapore Airlines (SQ) memiliki hubungan emosional dengan pelanggannya karena memiliki empati yang tinggi. Para pramugari SQ, Singapore Girl, sengaja dilatih untuk bisa membaca gerak tubuh, nada ucapan, dan ekspresi muka penumpang. Tujuannya tak lain agar mereka bisa memahami emosi dan problem penumpang dan akhirnya memberikan solusi terhadap persoalan pelanggan. Merek SQ sudah identik dengan empati, dan inilah yang menjadi perekat merek tersebut dengan pelanggannya.

Lihat juga Nike!

Penggunaan sosok Michael Jordan sebagai model iklan sekaligus role mode Nike juga merupakan usaha untuk membuat ikatan emosional dengan pelanggan. Di Amerika, anak-anak bahkan mengumpulkan sisa permen karet para pebasket NBA yang dibuang di pinggir lapangan. Layaknya sebuah jimat, mereka kadang memasukkan permen tersebut ke dalam kaus kaki ketika bermain basket. Bayangkan jika anak-anak tersebut bisa memakai sepatu yang dipakai Jordan. Ikatan spiritual seperti inilah yang menjadikan para basket mania menjadi langganan setia Nike. Banyak dari mereka yang menjadi kolektor sepatu Nike Air Jordan dan masih membeli tiap serinya meskipun Jordan telah pension.

Untuk merangkum semua warisan uraian saya mengenai merek, saya ingin bercerita sedikit mengenai bagaimana Virgin, sebuah merek top di Inggris, sukses membangun konglomerasi dengan meluncurkan beraneka-ragam produk dan bisnis, mulai dari rekaman musik, minuman ringan, hingga maskapai penerbangan.

Virgin adalah sebuah kasus pemasaran klasik sekaligus fenomenal. Ia fenomenal karena mampu membalik teori merek kuno bahwa merek haruslah fokus; dan kalaupun dipakai untuk beragam produk, haruslah saling terkait.

Virgin membuktikan bahwa ia mampu menjadi megabrand yang menaungi aneka ragam produk yang bahkan satu sama lain tak saling terkait. Bisnis dan produk apa pun, kalau ditempeli logo Virgin bisa dipastikan akan laris manis.

Rasanya Richard Bransson, sang pendiri yang flamboyan, sudah seperti Raja Midas yang mengubah apa pun yang disentuhnya menjadi emas. Bransson saat ini mengelola sebuah holding yang menaungi lebih dari 200 perusahaan dalam berbagai bidang bisnis yang sangat beragam, mulai dari agen perjalanan, kereta api, soft drink, bridal. Hotel, rekaman musik, fashion dan garmen, hingga-hingga maskapai penerbangan. Semua bisnis dan produk tersebut menggunakan Virgin sebagai mother brand-nya.

Apa kunci sukses Virgin sehingga bisa menjadi “paying” bagi ratusan perusahaan yang bidang usahanya tak saling terkait? Kuncinya, tak lain karena ada satu benang merah yang mengikat keseluruhan offering Virgin. Benang merah tersebut tak lain adalah nilai-nilai identitas merek Virgin yang sangat kukuh dan dikagumi oleh setiap pelanggannya.

Apa saja nilai-nilai luhur dan identitas merek Virgin yang menjadi kunci suksesnya? Yang utama adalah nilai-nilai antikemampanan dan sense of fun and cheekiness. Kemudian, Virgin juga menawarkan apa pun yang nyeleneh dan melanggar konvensi dan kewajaran. Mindset “David vs. Goliath” alias mentalitas si kecil yang selalu berjuang menumbangkan si besar. Dan, yang tak kalah penting adalah karisma Richard Bransson, sang pendiri yang flamboyan.

Kalau Anda membeli produk Virgin, sesungguhnya Anda “membeli” personality Virgin dan karakter Bransson berikut pola-tingkahnya yang nyeleneh. Identitas dn ekspresi kenylenehan inilah “kekuatan spiritual” Virgin yang memungkinkan Virgin membangun portfolio merek yang demikian beragam dan satu sama lain tak relevan. Kekuatan spiritual inilah yang membangun loyalitas dan kegandrungan setiap insan Virgin hingga mereka tak peduli lagi di kategori produk mana label Virgin tersebut ditempelkan.

Di Indonesia, kini mulai muncul “konglomerat merek” yang mengelola merek-merek top yang tak jarang tak saling terkait: Grup MRA (Hard Rock, Cosmopolitan, FHM, dan sebagainya), Grup ABC, Grup Kino, Grup Wings, dan sebagainya. Kunci keberhasilan mereka kira-kira sama, yaitu bahwa mereka sangat serius dalam membangun merek. Dan setelah merek itu terbangun, mereka dengan cerdas me-leverage-nya ke pasar-pasar baru yang prospektif.

Judul Buku: Hermawan Kartajaya on Brand (Keluarlah dari Perangkap Komoditasasi), Penerbit: MarkPlus&Co / Mizan, Halaman: 11-21.