Oleh David Ardhian
A. Sentimen atas Barang
Pada era globalisasi pasar seperti saat ini, pergerakan arus barang dan jasa lintas negara seperti tanpa batas. Barang yang ada disekitar kita adalah sebagian besar diproduksi oleh orang yang tidak pernah kita temui, kita beli dari orang yang tidak pernah kita kenal. Mulai dari kebutuhan dasar seperti makanan, kita bisa membeli jasmine rice dari Thailand, minuman kaleng bermerk Amerika, buah dari China dan daging sapi dari Australia. Sehari hari kita tidak pernah lepas telepon genggam dari produsen Finlandia yang dirakit di China, sembari meneteng laptop buatan Amerika dan memasuki mobil bermerk Jepang untuk mobilitas kita dalam bekerja. Pada ruang belakang, dapur bisa diisi oleh alat penggorengan Happy Call yang diimpor langsung dari Korea, dengan sekali gesek kartu kredit milik jaringan bisnis Amerika.
Sejak lama, Bell (1957) mengkaji fenomena ini sebagai bentuk realitas sentimen terhadap sebuah barang. Barang tidak hanya dilihat sebagai fungsinya namun nilai lain yang dikonstruksikan secara sosial sehingga kita ingin memilikinya. Perusahaan secara rutin terus mempersuasi kita bahwa barang tidaklah kosong secara sosial. Melalui iklan dengan berbagai media, perusahaan meyakinkan kepada kita bahwa barang yang dijualnya memiliki nilai lebih dari sekedar fungsinya semata.
Pada prinsipnya kita membeli sebuah barang karena barang itu memenuhi kepentingan kita, memiliki fungsi yang mendukung kehidupan kita. Ditengah kompetisi dagang, dalam sebuah lanskap pasar yang semakin bebas, iklan menjadi sebuah pendekatan dalam mempersuasi agar pilihan konsumen jatuh pada barang yang dijualnya. Barang tidak lagi menjadi sebuah obyek kepentingan sosial, namun juga sentimen atas barang itu sendiri menjadi sebuah kepentingan. Misalnya jika kita membeli kaos tim sepakbola favorit kita, maka bukan berarti kepentingan fungsi kaos itu saja yang menjadi pertimbangan membeli, namun dengan memakai kaos itu maka ada rasa terwakili, kebanggaan dan merasa bagian dari klub sepakbola itu.
Teori Veblen (1899) tentang Leisure Class sangat tepat untuk menjelaskan fenomena kepemilikan atas barang yang didalamnya terkandung niat menunjukkan kekuasaan sosial. Seseorang mengkonsumsi barang karena ingin memamerkan kekuasaannya kepada orang lain, karena konsumsi barang tersebut terkait dengan indikator kesejahteraan atau kekayaan di dunia modern. Seorang pengacara terkenal di Indonesia yang memiliki beberapa mobil sekelas Ferari memberi hadiah ulang tahun anaknya Mobil Bentley seharga 9 Milyar Rupiah adalah contoh ekstrim untuk menjelaskan Teori Leisure Class.
Dengan demikian dalam konteks pasar bebas, manusia memiliki barang tidak hanya karena faktor fungsi maupun kepentingan secara sosial semata namun bisa karena barang tersebut mewakili sentimen yang dikonstruksikan secara sosial melalui iklan oleh perusahaan advertising. Iklan adalah sebuah instrumen yang paling berpengaruh dalam membentuk konstruksi sosial atas produk atau jasa dalam sistem pasar, yang pada akhirnya mempengaruhi perilaku sosial dan implikasinya terhadap lingkungan hidup.
B. Green Advertising
Salah satu bentuk sentimen yang semakin marak dalam pemasaran produk saat ini adalah konsumerisme hijau (green consumerism). Isu lingkungan yang dulu merupakan isu pinggiran yang diusung para environmentalist, kini menjelma menjadi sebuah isu global yang masuk dalam wilayah pemasaran produk atau jasa. Kesadaran akan lingkungan bukanlah datang secara tiba tiba, namun sebuah proses konstruksi sosial yang dibangun dalam ruang publik secara konsisten.
Adalah Albert Gore, mantan wakil presiden Amerika Serikat, seorang politisi yang menampilkan citra diri seperti layaknya seorang ilmuwan melalui film pendeknya yang berjudul An Inconvenient Truth menjelaskan ancaman dampak perubahan iklim global kepada dunia. Al Gore dengan komunikasi yang par excellent membuat dunia menjadi yakin dan sepakat bahwa isu perubahan ilklim dan lingkungan adalah penting, meski para ilmuwan berdebat bertahun tahun mengenai soal tersebut. Metode Algore adalah sebuah proses konstruksi sosial terhadap isu perubahan iklim sehingga diterima secara global oleh berbagai pihak.
Saat ini isu lingkungan dan perubahan iklim bukan lagi sebuah wacana ekslusif namun sudah menjadi bagian dari kesadaran masyarakat, bahkan menjadi sebuah label baru dalam dunia pemasaran produk dan jasa. Label hijau (green product) menggambarkan bahwa sebuah produk memiliki nilai tambah (value added) yang ditawarkan dari sekedar fungsi intrinsiknya. Selain itu istilah go green menjadi sebuah label bagi organisasi pemerintah, non pemerintah maupun sektor bisnis untuk menampilkan citra bahwa mereka peduli terhadap pelestarian lingkungan hidup. Bank BUMN seperti Bank Mandiri melipatgandakan alokasi dana CSRnya untuk kegiatan lingkungan hidup dari 76 M pada tahun 2010, menjadi 143 M pada tahun 2011.
Dalam hal perilaku, bukannya membuat jalur yang aman dan nyaman untuk pengendara sepeda, namun “budaya” bersepeda nampaknya sudah menjadi sebuah label kepedulian lingkungan dan mengurangi emisi karbon di kalangan pemerintah pusat maupun daerah. Di sebuah kabupaten seluruh kepala dinas dan jajarannya harus membeli sepeda baru, karena sang Bupati sedang menggalakkan “sepeda keliling kota setiap hari Jumat”. Iklan bersepeda untuk mengurangi emisi karbon rupanya sangat efektif untuk memperluas pemasaran produk mereka.
Tak terkecuali perusahaan industri ekstraktif seperti tambang dan gas juga menggunakan isu hijau untuk menampilkan citra mereka sebagai perusahaan yang “ramah” lingkungan. PT. Chevron bekerja sama dengan Yayasan Kehati membuat sebuah program pelestarian hutan di Gunung Salak, sekitar 15 km dari unit operasi perusahaan di tempat yang sama. LSM lingkungan internasional seperti The Nature Conservancy menerima dana dari berbagai perusahaan tambang terkemuka seperti Exxon Mobile. Bahkan perusahaan hutan tanaman industri dan kelapa sawit seperti Sinar Mas beriklan tentang kelestarian lingkungan, sementara perilaku mereka di lapangan banyak dikritik karena kerusakan yang ditimbulkan akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit skala luas di Sumatera.
Dengan demikian green advertising menjadi sebuah sarana untuk memberikan sentimen baru terhadap produk atau jasa dari berbagai bisnis perusahaan. Globalisasi isu perubahan iklim dan lingkungan hidup menjadi sebuah kondisi pemungkin (enabling condition) bagi bertumbuhnya green advertising di dunia termasuk di Indonesia. Dengan kata lain green advertising berpotensi sebagai pencucian perilaku buruk dalam praktek kapitalisme, menjadi sebuah bentuk kapitalisme berwajah hijau (green capitalism).
Refleksi dari kerangka pikir Bell (1957) tentang environmental sociology, yang berpusat pada tiga hal material, ideal dan practical maka keberadaan green advertising menjadi sebuah kajian yang menarik. Green advertising menekankan penggunaan sentimen green issue pada barang (material) untuk membuat konstruksi sosial pentingnya green value dalam persepsi publik (ideal), sehingga mampu menggerakan pemasaran produk (practical). Tugas dari sebuah teori sosial adalah membuat relasi sosial menjadi visible, dan mampu mengungkap hal yang tidak nampak dalam sebuah relasi sosial seperti kekuasaan, dominasi dan marginalisasi menjadi bisa dijelaskan.
Green advertising dalam kerangka kapitalisme dunia bisnis adalah sebuah instrumen untuk meningkatkan penjualan produk dan memaksimalkan keuntungan sebesar besarnya. Oleh karena itu dalam kerangka analisis Bell (1957), green adverstising perlu diselidiki lebih jauh terkait dengan penggunaan green value sebagai sarana menggerakkan konsumsi atas barang yang dijualnya. Pada akhirnya adalah dalam padangan Bell tentang material, kita tidak hanya mengkonsumsi lebih dari yang kita butuhkan, namun mengkonsumsi lebih dari yang kita inginkan.